Pt dan Jn adalah temanku yang amat amat sangat baik. Sepasang suami istri yang harmonis ini tinggal di Elsternwick, kira-kira 1 jam perjalanan pake transport umum (bus, terus nyambung pake kereta api) dari Clayton. Mereka sangat toleran terhadap pendatang, tidak pernah ada kata-kata bersifat rasis yang mereka ucapkan. Selain itu mereka dengan senang hati sering mengajak aku klenceran ke tempat-tempat indah di sekitar Melbourne.
An juga teman yang begitu baik. Dia orang Indonesia yang studi di Monash Uni Clayton Campus pada saat yg bersamaan dg aku. Cuma, dia start studi di sana 1 semester lebih awal dr aku, dan finish juga lebih awal tentunya. Meskipun beda fakultas dan kantor, kami cukup sering berkomunikasi, baik untuk say hello aja atau curhat soal apa gitu.
Satu hal yang sangat kusayangkan….aku sudah putus kontak dengan mereka semua. Kami sudah tidak berkomunikasi sama sekali sejak bertahun-tahun lalu. Kenapa bisa begini ya, padahal mereka begitu baik kepadaku. Sebetulnya aku menemukan penjelasan tentatif mengenai hal ini, berupa wise words yang dikirim seorang teman lewat email. Begini bunyinya:
When someone is in your life for a reason, it is usually to meet a need you have expressed. They have come to assist you through a difficulty, to provide you with guidance and support, to aid you physically, emotionally or spiritually. They may seem like a godsend and they are. They are there for the reason you need them to be. Then, without any wrongdoing on your part or at an inconvenient time, this person will say or do something to bring the relationship to an end. Sometimes they die. Sometimes they walk away. Sometimes they act up and force you to take a stand. What we must realize is that our need has been met, our desire fulfilled, their work is done. The prayer you sent up has been answered and now it is time to move on.
Kalau dipikir-pikir, benar juga ya. Teman-teman yang baik ini dihadirkan oleh Yang Di Atas ke kehidupanku untuk membantuku. Pt dan Jn merupakan orang-orang yang tepat untuk mendampingiku dalam masa transisi dari Indonesia ke Australia. Mereka penduduk Australia asli jadi mereka lebih tahu kondisi negaranya. Pada awal aku pindah ke Melbourne, mereka memberitahuku banyak hal: tentang tempat yang murah untuk belanja, tempat yang aman dan kurang aman untuk didatangi, tempat yang indah untuk dikunjungi, dan masih banyak lagi. Tanpa petunjuk mereka, hidupku mungkin tidak senyaman saat itu.
An juga tidak kalah pentingnya. Bisa dibilang, dia adalah satu dari sedikit sekali teman yang betul-betul mengubah hidupku. Hanya beberapa minggu setelah kami berkenalan, dia menelpon untuk memberitahu adanya sebuah konferensi besar yang akan diadakan di Canberra dan memintaku untuk ikut juga. Waktu itu aku tanggapi seadanya, aku bilang iya-iya aja tanpa punya niat untuk gabung. Beberapa hari berikutnya dia nelpon terus, betul-betul maksa aku untuk kirim abstrak ke konferensi, siapa tau diterima dan bisa disajikan di sana. Ya aku tulis abstrak dengan setengah hati, asal-asalan aja, terus aku kirim ke panitia konferensi. Eeeh, ternyata beberapa bulan kemudian datang pemberitahuan bahwa abstrakku diterima untuk dipresentasikan di konferensi. Jadilah kami dan beberapa teman lain rame-rame berangkat ke Canberra. Itu seperti titik balik dalam hidupku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melakukan public speaking! Dan gilanya lagi, itu kulakukan di negeri orang. Sebelumnya, aku sangat tidak pede dengan kemampuanku, jadi aku tidak pernah sama sekali menyajikan makalah di Indonesia. Berkat An yang suka maksa, akhirnya aku berhasil melakukannya: berbicara mengenai sesuatu yang ilmiah di hadapan orang banyak di forum ilmiah pula, dan sekarang malah ketagihan menyajikan makalah (sayangnya ga punya duit lagi utk ikut konferensi). Aku bayangkan, kalau aku tidak bertemu An, mungkin aku akan jadi dosen dan peneliti yang penakut selamanya, yang tidak pernah presentasi di konferensi.
Pt, Jn dan An telah melakukan tugasnya, membuatku menjadi orang yang lebih baik. Setelah tugas ini selesai, tiba-tiba saja terjadi sesuatu yang membuat mereka menjauh dari aku (atau aku yang menjauh dari mereka ya?). Kami akhirnya berpisah dan putus kontak hingga kini. Sempat ngerasa gimana gitu, dan ini kutulis di blog Friendsterku. Temanku Patris menanggapi begini:
Aku setuju sekali dengan Patris, tiap orang yang hadir di kehidupan kita membawa agenda, yaitu membuat kita dan dirinya sendiri lebih baik. Kalau kita sudah menjadi lebih baik dari sebelumnya, maka misinya berhasil dan sudah waktunya bagi orang ini untuk pergi. Tapi dasar Patris, waktu aku berterima kasih untuk komentarnya yg indah di blogku, dia malah bilang: “Lho iya tah, aku dulu nulis gitu? Aku ga inget tuh.” Ooo, ancene arek iki…
Silaturahmi seharusnya tidak terputus, dan sekuat tenaga harus kita jaga supaya hubungan baik dengan teman terjaga selamanya. Apakah aku nanti ditakdirkan untuk bertemu lagi dengan teman-temanku yang baik ini, dan bisa menyambung kembali tali silaturahmi? Hanya Tuhan yang tahu, aku hanya bisa berharap yang terbaik bagi kami semua.
Tuesday, March 30, 2010
Friday, March 12, 2010
Word of Mouth
Barusan nulis ttg hobi orang utk bergunjing di entry sebelumnya, eee sekarang ada masalah besar di jurusan karena gunjingan seseorang. Siapa ya yg bergunjing sehingga mengakibatkan salah paham serius antara dosen dan mahasiswa? Kok keterlaluan sekali, itu kan menghasut namanya.
Makanya aku tidak suka ngobrol ga jelas. Kalau membicarakan kejelekan orang lain, sulit utk berlaku netral. Pasti pembicaraan spt itu ditambah-tambahi, yang sebetulnya tidak ada jadi ada. In other words, perbuatan bergunjing hampir selalu berbuah fitnah. Itu perbuatan keji, tahu.
Semoga si penghasut segera mengakui kesalahannya. Jangan lempar batu sembunyi tangan. Semoga juga di masa yg akan datang tidak akan ada pihak yang terpancing kalau ada penghasut menyelinap.
Aku sendiri sudah beribu-ribu kali jadi korban fitnah. Pada awal aku bekerja di sini dulu, aku belum menginjakkan kaki di jurusan pun sudah beredar fitnah keji. Biarin, ngga tak pikir. Toh, akhirnya sekarang terbukti aku tidak seperti apa yang mereka tuduhkan. Ngga cuma di jurusan, di lingkungan tempat tinggal ternyata juga ada orang-orang seperti itu. Tiga minggu lalu aku berkebun di depan pagar rumahku, dan pada waktu bersamaan tetangga sebelah kanan belanja di tukang sayur keliling. Melihat ini, tetangga sebelah kiri naik sepeda motor, ngelewati aku begitu aja, terus gabung dengan tetangga sebelah kanan dan tukang sayur. Mereka bertiga tampak melihat aku dengan wajah yang gimana gitu sambil bisik-bisik. Ooo, bergunjing ttg aku ya? Aduh ibu-ibu pembawa kayu bakar, apa ngga sayang, punya rumah segitu gede dan mewah, tapi kok malah bergunjing sama tukang sayur keliling. Ngga level dong. Lagian kenapa bergunjing? Kalo punya waktu luang, mending kerja sana lho, bisa dapat penghasilan buat beli berlian. Kalau masih belum punya kepandaian apa-apa untuk bekal bekerja, ya kuliah dulu sana. Itu kan jauh lebih berguna daripada bergunjing ngga jelas.
Subscribe to:
Posts (Atom)