Saturday, February 27, 2010
Publications (2)
Dulu aku tidak tahu bhw dosen diharuskan membuat publikasi ilmiah karena itu merupakan salah satu tugas pokok dosen selain mengajar. Aku baru sadar karya ilmiah itu memang betul-betul penting sewaktu apply beasiswa utk studi lanjut. Sebagai bagian dr seleksi penerimaan beasiswa, aku diwawancara. Aku masih inget nama interviewernya, yaitu Dr. Elspeth. Beliau melihat daftar publikasi ilmiahku yang cuma berisi dua judul dan wajahnya agak kecewa. Terus beliau tersenyum sambil bertanya, “Are these the only publications you have?”
Wah, aku malu setengah mati. Mungkin beliau mbatin, karya ilmiah cuman dua kok berani-beraninya daftar S3 di Oz. Akhirnya bisa ditebak, aku tidak dapat beasiswa. Sejak itu aku genjot untuk kejar ketertinggalan. Aku banyak nulis makalah untuk seminar atau konferensi, dan setelah dapat masukan dari audience makalahnya aku kirimkan ke jurnal untuk diterbitkan. Kadang ditolak oleh editor jurnal, kadang diterima. Ngga papa, yg penting udah nyoba.
Sampe sekarang aku masih suka nulis. Itu pesan dr kedua pembimbingku, Dr Gearon & Prof Len. Sewaktu aku masih studi di Monash Uni, beliau berdua berpesan agar aku aktif menulis karya ilmiah krn itu memang tugasku selama studi. Apalagi kalo studi udah selesai, karya tulis harus semakin banyak.
Memang lebih enak menulis karya ilmiah drpd ngobrol ga jelas. Paling sebel kalo duduk di kantor terus langsung diajak bergunjing ttg teman sendiri. Sebeeeeellllllllll. Heran, seneng amat sih cari kesalahan orang lain buat bahan bergunjing. Tuh, di musholla ada kaca gede, dipake dong. Tapi kalo ngga mau pake ya ngga papa, aku juga ngga bisa maksa orang utk berkaca. Lebih baik aku meneruskan tulisanku. Lihat saja nanti, apa se yg dikutip orang lain dari mereka? Paling-paling aib dan fitnah hasil gunjingan mereka. Terus apa yg dikutip orang lain dr aku? Ilmu yg ku tulis di karya ilmiahku hehehe:
Processing Connected Speech: Triggers for Mondegreens oleh Balmer
Violating Gricean Maxims in Persian Ethnic Jokes oleh Sepideh Berenji
LIM nella didattica delle lingue straniere: come muovere i primi passi di Valentina Toci
A survey of undergraduate students’ attitudes toward importance of listening, listening problems and strategies of EFL listening oleh Napat Nuangrit
Utilizing Film to Enhance Student Discussion of Sociocultural Issues oleh Richard J. Sampson
The Effect of Bimodal, Standard, and Reversed Subtitling on L2 Vocabulary Recognition and Recall oleh Abbas Ali Zarei
What Is Going on in Students’ Minds as They Read?: The Use of Think-Aloud Protocol Analysis in Reading oleh Sutilak Meeampol
Update 5 March 2010
Ini ada lagi yg munculkan namaku. Entah apa bunyinya, aku ga mudeng bahasa Jepang hahahaha...
http://www.initiative.soken.ac.jp/20nendo/katudou/fieldwork/repo-ohkura.html
Friday, February 26, 2010
Touched by an Angel: Unidentified Female
"Do you notice something about human? If you ask them to go back and live any day all over again, what would they do? They always want to go back and fix something, as if they knew the precise moment when something went wrong."
"But sometimes you do. Sometimes you know there is a day that you're sure change your life. And then life gets so precious because suddenly you know you're not gonna live forever."
"A stone, a leaf, an unfound door.
I've always loved that.
Unfound door...
I mean, how do you know there's a door to be found?
I guess sometimes you don't see it till you walk through it."
"Everyone is on their own path. Timing is everything."
"I actually pray. I ask God that one day I just can do something to make a difference."
"Obviously, be careful of what you pray for."
"Why can't they see you?"
"I'm not here for them."
"But sometimes you do. Sometimes you know there is a day that you're sure change your life. And then life gets so precious because suddenly you know you're not gonna live forever."
"A stone, a leaf, an unfound door.
I've always loved that.
Unfound door...
I mean, how do you know there's a door to be found?
I guess sometimes you don't see it till you walk through it."
"Everyone is on their own path. Timing is everything."
"I actually pray. I ask God that one day I just can do something to make a difference."
"Obviously, be careful of what you pray for."
"Why can't they see you?"
"I'm not here for them."
Thursday, February 25, 2010
A place called home
Setiap kali berbincang tentang rumah dinas, pendapatku kok selalu berseberangan dengan pendapat orang lain ya?
Sekarang kan lagi tren, rumah dinas milik instansi pemerintah mana pun harus dikembalikan kepada instansi tersebut apabila penghuninya sudah pensiun. Begitu banyak penghuni yng bersikeras tidak mau meninggalkan rumah dinas. Alasan mereka dapat dipahami. Menurut peraturan, apabila ada orang yg bekerja di suatu instansi pemerintah dan mendapat rumah dinas, dia boleh tinggal di situ hingga meninggal, bahkan pasangannya (istri/suami) pun masih boleh menempati rumah itu hingga si pasangan meninggal. Peraturan ini lah yg dijadikan tameng utk para penghuni rumah dinas agar dapat terus tinggal di situ dan menolak pindah meski instansi meminta rumah dinas itu kembali.
Mungkin mereka lupa, peraturan itu dibuat oleh manusia. Peraturan di kitab suci memang tidak boleh diganggu gugat, tapi peraturan pemerintah bisa saja berubah mengikuta perkembangan jaman. Dulu taun 1960an atau 1970an jumlah dosen sangat sedikit, dan tanah di universitas berlebih sehingga masih memungkinkan utk mengakomodasi tempat tinggal semua dosen. Tapi setelah terjadi ledakan jumlah penduduk, jumlah dosen dan mahasiswa membengkak drastis sehingga uni memerlukan lebih banyak space utk membangun gedung kuliah, aula, dan sarana lain. Wajar kalo yg digusur adalah rumah dinas, demi memberi tempat bagi bangunan lain.
Aku dan ortu tidak keberatan rumah dinas diambil kembali oleh UM dg pertimbangan di atas. Kalo pun ada tetangga yg jutek berat kepada kami sampe mengeluarkan kata-kata pedas karena kami langsung pindah begitu UM meminta, ya tidak apa-apa. Kami terima dengan lapang dada. Kami hanya mematuhi peraturan UM dan pemerintah. Menurut kami, pindah rumah itu lah hal yg paling benar utk kami lakukan, yg bisa kami pertanggungjawabkan di dunia & akhirat.
Rumah dinas itu penuh kenangan, krn aku tinggal di situ sejak kecil. Banyak sekali hal-hal yg terjadi di sana dan membentuk aku seperti sekarang ini. Karena itu sampai kapan pun aku menganggap rumah dinas itu my home, meskipun rumah itu diisi meja kursi untuk kantor, atau pun didemolisi utk mendirikan bangunan yg sama sekali baru.
Monday, February 22, 2010
Publications (1)
Prof. Ilana Snyder namanya.
Beliau salah satu dosen di Faculty of Education, Monash Uni. Pada awal masa studiku di sana (mid 2003), fakultas mengadakan winter school selama seminggu. Kalo ngga salah hari Rabu ada presentasi oleh Prof. Snyder, topiknya adalah publication, yaitu seluk beluk mempublikasikan karya ilmiah kita. Sebagai dosen atau mahasiswa S2 & S3, mempublikasikan karya ilmiah kita hukumnya wajib. Karena itu fakultas menyelipkan topic ini dlm winter school.
Dengan gamblang Prof Snyder menjelaskan tips jitu utk memperlancar proses diterimanya karya kita untuk publikasi. Sudah berpuluh tahun beliau mengirim karya-karyanya ke penerbit buku dan jurnal, dan banyak yang diterima untuk diterbitkan. Ditunjukkan beberapa karya di slides yang berhasil dipublikasi, bahkan ada yg berbahasa Finlandia! Karya yang diterbitkan itu ternyata dibaca orang di seantero dunia, bahkan ada bangsa lain yg tertarik utk menterjemahkan salah satu artikelnya dalam bahasa asing. Hebat.
Berikutnya, dengan enteng beliau menunjukkan beberapa karyanya yang ditolak oleh penerbit, serta memaparkan alasan-alasan yg melatarbelakangi penolakan itu. Ingat, itu disampaikan di session winter school, di depan orang banyak, baik dosen maupun mahasiswa. Hebat nggak?
Curious, aku memberanikan diri bertanya, “Didn’t you feel sad when you knew your papers were rejected?” Soalnya itulah yg biasanya terjadi kalo karyaku ditolak penerbit. Prof Snyder menundukkan kepala dan meletakkan kedua tangannya ke telinga sambil geleng-geleng kepala dan pura-pura menangis. “Oh, of course, I did. Boo hoo.” Semua tertawa.
Yg bisa dipelajari dr beliau adalah, tidak apa-apa karya ilmiah kita ditolak penerbit. Tapi bukan berarti itu akhir dr segalanya. Tulisan yg ditolak itu harus diperbaiki dan dikirim ulang ke penerbit, bukan untuk dibuang di tempat sampah. Jadi memang harus berusaha keras sebelum karya kita diterbitkan.
Anyway, menurut Australian Research Council, academic output yg diurut mulai nilai yg terbesar sd. terkecil adalah:
Beliau salah satu dosen di Faculty of Education, Monash Uni. Pada awal masa studiku di sana (mid 2003), fakultas mengadakan winter school selama seminggu. Kalo ngga salah hari Rabu ada presentasi oleh Prof. Snyder, topiknya adalah publication, yaitu seluk beluk mempublikasikan karya ilmiah kita. Sebagai dosen atau mahasiswa S2 & S3, mempublikasikan karya ilmiah kita hukumnya wajib. Karena itu fakultas menyelipkan topic ini dlm winter school.
Dengan gamblang Prof Snyder menjelaskan tips jitu utk memperlancar proses diterimanya karya kita untuk publikasi. Sudah berpuluh tahun beliau mengirim karya-karyanya ke penerbit buku dan jurnal, dan banyak yang diterima untuk diterbitkan. Ditunjukkan beberapa karya di slides yang berhasil dipublikasi, bahkan ada yg berbahasa Finlandia! Karya yang diterbitkan itu ternyata dibaca orang di seantero dunia, bahkan ada bangsa lain yg tertarik utk menterjemahkan salah satu artikelnya dalam bahasa asing. Hebat.
Berikutnya, dengan enteng beliau menunjukkan beberapa karyanya yang ditolak oleh penerbit, serta memaparkan alasan-alasan yg melatarbelakangi penolakan itu. Ingat, itu disampaikan di session winter school, di depan orang banyak, baik dosen maupun mahasiswa. Hebat nggak?
Curious, aku memberanikan diri bertanya, “Didn’t you feel sad when you knew your papers were rejected?” Soalnya itulah yg biasanya terjadi kalo karyaku ditolak penerbit. Prof Snyder menundukkan kepala dan meletakkan kedua tangannya ke telinga sambil geleng-geleng kepala dan pura-pura menangis. “Oh, of course, I did. Boo hoo.” Semua tertawa.
Yg bisa dipelajari dr beliau adalah, tidak apa-apa karya ilmiah kita ditolak penerbit. Tapi bukan berarti itu akhir dr segalanya. Tulisan yg ditolak itu harus diperbaiki dan dikirim ulang ke penerbit, bukan untuk dibuang di tempat sampah. Jadi memang harus berusaha keras sebelum karya kita diterbitkan.
Anyway, menurut Australian Research Council, academic output yg diurut mulai nilai yg terbesar sd. terkecil adalah:
Saturday, February 20, 2010
Drawing
Gambar yg aku pake utk profile photo itu hasil drawing-ku sendiri. Taun berapa ya aku menggambar itu? Ngga ingat. Mungkin dekade 80-an dulu, atau 90-an. Sejak kecil aku memang suka menggambar. Kalau ada foto bagus, aku langsung ambil kertas dan pensil, terus mulai sketching. Ngga sampe 1 hari gambarnya selesai.
Kertas yg kupake adalah kertas buram yg warnanya agak krem, makanya gambar di atas waktu discan ngga bisa putih bersih. Kenapa pake kertas buram? Karena hasilnya lebih bagus drpd kertas HVS. Ngga tau kenapa, pokoknya kertas buram lebih klop utk menggambar pake pensil.
Sekarang sudah ngga pernah nggambar lagi, kecuali kalo keponakanku yg kecil-kecil meminta aku utk menggambar utk mereka. Sebetulnya pingin sekali bisa sering menggambar kaya dulu. Ngga cuma menggambar, tapi juga menyalurkan hobi lain seperti mengkliping resep kue dr tabloid/majalah plus mempraktekkannya, mengkoleksi artikel purbakala, dll. Sayang itu semua tidak bisa kulakukan lagi.
Sejak studi lanjut di Oz, waktu utk hobi kayaknya udah ngga ada lagi. Rasanya aku mendapat pressure utk menulis dan membaca ttg bahasa. Bukannya ngga suka: aku sangat senang bisa dapat bahan bacaan banyak dan menulis berdasarkan apa yg ku baca. Cuma, aku merasa bisa jadi manusia seutuhnya kalo bisa mendalami bahasa sambil aktualisasi diri di bidang lain yg memang menarik buatku. Jadi pengetahuan dan hobi bisa jalan sama-sama.
Makanya aku pernah bilang tahun 2007 itu taun keemasanku. Bisa menyelesaikan disertasi tepat waktu...atau mungkin sebelum waktunya soalnya 2 minggu sebelum deadline udah dijilid (wowww legaaaaaahhh). Dalam waktu kurang dr 4 bulan aku klenceran ke 3 tempat yg jauh tapi indah utk dikunjungi. Aku bisa mengagumi peninggalan purbakala yg terhebat dalam sejarah peradaban manusia sehingga hobi arkeologi bisa muncul lagi. Pokoknya banyak banget anugerah di taun 2007.
Sekarang tinggal memulai hobi menggambar lagi. Mau beli kertas buram ah, toh itu pensil udah ada....
Thursday, February 18, 2010
Hadrian's Library
Hadrian’s Library adalah salah satu peninggalan purbakala yg membuatku terkagum-kagum. Perpustakaan yg dibangun oleh kaisar Hadrian pada taun 132 Masehi itu nampak begitu megah meskipun hanya reruntuhannya saja yg tersisa. Sewaktu aku mengunjungi Yunani pada bulan Maret 2007 (tahun keemasanku), secara tidak sengaja aku melihat Hadrian’s Library pas jalan-jalan di pertokoan souvenir, kalo ngga salah di daerah Monastiraki di Athena. Aku liat peninggalan purbakala berupa sebidang tanah yg cukup luas, dengan pondasi beberapa ruang yang masih terlihat jelas, dan di sebelah barat terdapat sebidang dinding kokoh terbuat dari pualam. Dinding ini dihiasi kolom khas Yunani.
Menurut informasi yg aku baca, bangunan ini bernama Hadrian’s Library, tapi isinya lebih dr sekedar perpustakaan. Di dalamnya terdapat sebuah taman, pajangan berupa karya seni, perpustakaan, dan gedung kuliah. Ruang penyimpanan buku-buku papyrus berada di sebelah timur kompleks, dan ruang di sebelahnya merupakan ruang baca. Peradaban Yunani yg amat maju menganggap ilmu tidak terpisahkan dari seni, karena itu karya seni dan taman yg indah dijadikan satu dalam bangunan perpustakaan yang memuat buku-buku ilmu pengetahuan.
Setelah mengunjungi peninggalan purbakala ini aku berpikir-pikir. Pada abad 2 Masehi bangsa Yunani sudah memiliki perpustakaan yg megah & indah. Lha abad 21 kita kok belum punya ya bangunan spt itu? Perpustakaan di kampus cukup besar, tapi belum sebesar punya kaisar Hadrian. Di depan dan bagian dalamnya ada taman, tapi kok tidak terawat. Bukunya kurang up-to-date, sehingga mahasiswaku seringkali harus berburu buku di universitas lain, malah kadang sampai ke luar kota. Kalau aku usul spy koleksi buku diperlengkap dan bangunan lebih intensif dirawat, kuatirnya dikira aku terlalu idealis. Terlalu banyak melihat kondisi di luar Indonesia dan mau mengubah segala sesuatu di sini seperti ”di luar”. Repot juga ya.
Tapi tidak apa-apa, diberi kesempatan untuk mengunjungi perpustakaan kaisar Hadrian saja aku sudah sangat bersyukur. Paling tidak aku sudah pernah melihat majunya peradaban masa lalu di Yunani, meskipun tinggal puingnya.
Tuesday, February 16, 2010
More cat owners have degrees
Pelihara kucing atau anjing? Sebaiknya kucing aja. Menurut penelitian, kebanyakan pemegang gelar sarjana adalah orang yg memelihara kucing, sedangkan pemelihara anjing yg lulus universitas lebih sedikit jumlahnya.
Ooo pantesan aku bisa sekolah sampai lulus universitas, lha sejak kecil suka memelihara pus…
Gambar di sini adalah pus lucu-lucu yg aku foto pas di Yunani :)
---
People who own a cat are more likely to have a university degree than those with a pet dog, a study by Bristol University suggests.
A poll of 2,524 households found that 47.2% of those with a cat had at least one person educated to degree level, compared with 38.4% of homes with dogs. The study said longer hours, possibly associated with better qualified jobs, may make owning a dog impractical.
It also found that UK pet ownership was much higher than previously thought. Cat and dog numbers were last estimated in a scientific peer-reviewed journal in 1989, which said there were 6.2 million and 6.4 million respectively in the UK.
But according to Bristol's Department of Clinical Veterinary Science, the populations today are likely to be about 10.3 million and 10.5 million. Overall, it estimated that 26% of UK households owned cats and 31% owned dogs.
The study suggested a number of other characteristics, aside from education level, were associated with either cat or dog ownership. Of those surveyed, dog-lovers were more likely to be male, living in rural areas and under the age of 55. But cat owners were more likely to be female and living in smaller or single-person households.
However Dr Jane Murray, a lecturer in feline epidemiology at Bristol University, said the variation in education level between owners was the most striking difference.
"We don't know why there is this discrepancy," she told the BBC News website. We did look at average household income but that wasn't significant. Our best guess is that it's to do with working hours and perhaps commuting to work, meaning people have a less suitable lifestyle for a dog. It's really just a hunch though."
Dr Murray, whose post is funded by the Cats Protection charity, said researchers hoped to repeat the study using the results of the 2011 census to get a clearer idea of trends in UK pet ownership.
From news.bbc.co.uk
Ooo pantesan aku bisa sekolah sampai lulus universitas, lha sejak kecil suka memelihara pus…
Gambar di sini adalah pus lucu-lucu yg aku foto pas di Yunani :)
---
People who own a cat are more likely to have a university degree than those with a pet dog, a study by Bristol University suggests.
A poll of 2,524 households found that 47.2% of those with a cat had at least one person educated to degree level, compared with 38.4% of homes with dogs. The study said longer hours, possibly associated with better qualified jobs, may make owning a dog impractical.
It also found that UK pet ownership was much higher than previously thought. Cat and dog numbers were last estimated in a scientific peer-reviewed journal in 1989, which said there were 6.2 million and 6.4 million respectively in the UK.
But according to Bristol's Department of Clinical Veterinary Science, the populations today are likely to be about 10.3 million and 10.5 million. Overall, it estimated that 26% of UK households owned cats and 31% owned dogs.
The study suggested a number of other characteristics, aside from education level, were associated with either cat or dog ownership. Of those surveyed, dog-lovers were more likely to be male, living in rural areas and under the age of 55. But cat owners were more likely to be female and living in smaller or single-person households.
However Dr Jane Murray, a lecturer in feline epidemiology at Bristol University, said the variation in education level between owners was the most striking difference.
"We don't know why there is this discrepancy," she told the BBC News website. We did look at average household income but that wasn't significant. Our best guess is that it's to do with working hours and perhaps commuting to work, meaning people have a less suitable lifestyle for a dog. It's really just a hunch though."
Dr Murray, whose post is funded by the Cats Protection charity, said researchers hoped to repeat the study using the results of the 2011 census to get a clearer idea of trends in UK pet ownership.
From news.bbc.co.uk
Saturday, February 13, 2010
Girls ARE equal to boys in maths
Menurut penelitian, pada umumnya perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki di bidang matematika.
---
Girls are just as good at maths as boys but fail to pursue the subject because they lack confidence in their abilities, a global study has found.
Research among almost half a million students in 69 countries debunked the myth that boys are better at maths. But the stereotype is putting talented girls off following careers related to the subject, such as engineering, information technology and science, according to the U.S. researchers. The study, by a team from Villanova University in Philadelphia, was based on international tests taken by 493,495 students.
Professor Nicole Else-Quest, from the university, said: ‘These results show that girls will perform at the same level as the boys when they are given the right educational tools and have visible female role models excelling in mathematics. Stereotypes about female inferiority in mathematics are a distinct contrast to the scientific data.’
She said the results showed an even spread of scores between girls and boys.
The research, published in the American Psychological Association’s Psychological Bulletin, also looked at the level of confidence both boys and girls had when completing the tests.
‘Despite overall similarities in math skills, boys felt significantly more confident in their abilities than girls did and were more motivated to do well,’ said Professor Else-Quest.
An excerpt of an article from www.dailymail.co.uk
Thursday, February 11, 2010
Aesop's fable may be true
By Malcolm Ritter
From the goose that laid the golden egg to the race between the tortoise and the hare, Aesop's fables are known for teaching moral lessons rather than literally being true. But a new study says at least one such tale might really have happened.
It's the fable about a thirsty crow. The bird comes across a pitcher with the water level too low for him to reach. The crow raises the water level by dropping stones into the pitcher. (Moral: Little by little does the trick, or in other retellings, necessity is the mother of invention.)
Now, scientists report that some relatives of crows called rooks used the same stone-dropping strategy to get at a floating worm. Results of experiments with three birds were published online Thursday by the journal Current Biology.
Rooks, like crows, had already been shown to use tools in previous experiments.
Christopher Bird of Cambridge University and a colleague exposed the rooks to a 6-inch-tall clear plastic tube containing water, with a worm on its surface. The birds used the stone-dropping trick spontaneously and appeared to estimate how many stones they would need. They learned quickly that larger stones work better.
In an accompanying commentary, Alex Taylor and Russell Gray of the University of Auckland in New Zealand noted that in an earlier experiment, the same birds had dropped a single stone into a tube to get food released at the bottom. So maybe they were just following that strategy again when they saw the tube in the new experiment, the scientists suggested.
But Bird's paper argued there's more to it: The rooks dropped multiple stones rather than just one before reaching for the worm, and they reached for it at the top of the tube rather than checking the bottom.
The researchers also said Aesop's crow might have actually been a rook, since both kinds of birds were called crows in the past.
From Associated Press
Monday, February 8, 2010
The unforgettable place
“Nang kono iku ngerasakno urip mulyo tenan,” kata teman yang pernah studi di Canberra.
Aku nambahi, ”Wah, sak mulyo-mulyone, pak.”
Topik pembicaraannya adalah studi lanjut di Oz. Dia studi di Canberra dlm waktu bersamaan dg aku di Melbourne, tapi kami baru kenal di Unesa 2 taun lalu pas ikutan nyusun proposal IMHERE (yg belom lolos hehehe).
Studi di sana emang seperti di surga. Mahasiswa dapat kantor yg dapat diakses 24/7, dengan fasilitas wah, a.l. komputer dg internet yg super cepet, free stationery, buku & jurnal yg bejibun, dll. Udah gitu, uni menyedikan dana yg cukup banyak utk menghadiri konferensi. Begitu banyak dosen & mahasiswa yg berpikiran terbuka shg diskusi ilmiah dg mereka sangat menyenangkan. Makanya aku setuju sekali kalo kehidupan seperti ini disebut urip mulyo. Semua pengalaman di sana tidak akan terlupakan. Faculty of Education, Monash Uni, tempat yg tidak akan terlupakan.
Subscribe to:
Posts (Atom)