Kemarin pagi salah seorang peserta PLPG mengacungkan tangan di kelas.
"Ya, pak?" tanyaku.
"Bu, kalo bisa kelas diakhiri sebelum setengah enam. Bukannya apa, tapi kami ada yg tinggal di hotel jauh dari sini, jadi kalo bisa pulang awal saja. Kan keamanan di sini kurang terjamin, barusan ada pembunuhan, jadi kami tidak berani kalo pulang setengah enam," kata bapak itu dengan berapi-api.
"Bapak ditempatkan di hotel mana?" tanyaku lagi.
"Jauh, bu. Di dekat Tugu Pahlawan sana. Pulangnya awal saja."
"Ooo itu se ... dekat, pak."
Bapak itu tidak terima, dengan wajah sebal dia bilang, "Huh, Tugu Pahlawan kok dekat."
Aku lebih tidak terima lagi. "Lho?! Bapak kira saya nanti pulang ke mana?"
Bapak itu diam tidak tahu jawabnya. Aku ulangi lagi pertanyaanku ke semua peserta di kelas itu.
"Hayo, saya nanti pulang ke mana coba?"
Beberapa tampak bingung krn memang tidak tahu jawabnya. Terus ada seorang peserta lain yg mungkin udah kenal aku sebelumnya, dia bilang, "Ke Malang."
"Iya, betul. Saya nanti pulang ke Malang. Itu lebih jauh dr Tugu Pahlawan kan? Kalo saya keluar dari kampus jam setengah enam, saya tiba di rumah empat jam kemudian. Bapak se, enak. Masih pulang ke dalam kota."
Bapak itu langsung diam, tidak meneruskan protesnya. Aku lanjutkan penjelasanku.
"Dan soal keamanan di kampus, tidak usah kuatir. Kalo kita nanti pulang setengah enam kampus ini masih ramai kok, pasti aman. Kalo kapan itu ada pembunuhan, itu tidak terkait dengan warga kampus ini. Itu orang luar yg melakukan kejahatan, ndak ada urusan dengan kampus, tapi kampus ini pas apes jadi tempat kejadian perkara tindak kriminal."
Nah, udah beres. Akhirnya diklat berakhir pukul setengah enam tanpa ada keberatan lagi.
Empat jam kemudian, sekitar pukul 9.30 aku turun dari angkot. Tinggal jalan sedikit, sekitar 5 menit, aku akan sampai di rumah. Seperti biasa, aku kalo jalan ga liat kiri kanan, tapi menunduk. Kebiasaan aja. Pas berjalan itu lah, aku liat sesuatu di depanku. Lho?! Apa itu, kok kayak uang kertas yg terlipat? Aku amati benda itu lebih dekat. Ooo ternyata emang uang. Duit Rp. 5000 itu kusut seperti habis digenggam. Mungkin orang yg punya duit itu ga sadar kalo uangnya jatuh. Wah kasihan. Aku ambil uang itu, tapi aku tidak berniat utk memilikinya krn emang bukan milikku. Kan kalo kita nemu sesuatu yg bukan milik kita harus disumbangkan ke masjid ato fakir miskin ato yatim piatu. Maksudku besok pagi mo ku masukkan ke kotak amal di masjid dekat situ, sekarang pasti masjid udah tutup krn udah malem.
Beberapa langkah kemudian aku lewat di depan masjid. Lho?! Masjidnya masih buka! Kok aneh ya, biasanya kalo aku pulang dr Surabaya lewat di depannya jam 8 malam, dan masjid selalu udah gelap dan terkunci pintunya, ini udah jam 9.30 kok masih buka? Ya udah, sekalian aja uang itu aku masukkan sekarang. Aku langkahkan kaki menuju masjid. Semua pintu rumah Tuhan itu terbuka lebar. Jendela juga terbuka. Bagian dalam sangat terang benderang. Aku lepas sepatuku, lalu menapak dua anak tangga di bagian depan masjid. Halaman masjid sangat sepi, begitu pula di dalamnya, tidak ada seorang pun. Aku tengok kanan kiri dulu dari pintu depan untuk melihat apa ada orang di dalam, maklum yg ku masuki adalah area khusus pria. Maksudku aku mo bilang permisi kalo emang ada orang. Tapi ternyata tidak ada siapa pun, betul-betul sunyi. Aku melangkah ke dalam mendekati kotak kayu tempat amal, memasukkan uang temuan tadi, lalu keluar.
Setengah sepuluh lebih sedikit aku sampai di gerbang rumah. Masuk, mandi, keramas, keringkan rambut pake hair dryer, maem kue, minum susu hangat, terus tidur. Zzzzzzz. Besoknya bangun pagi. Abis minum kopi susu dan maem sedikit coklat almond Silver Queen, aku ambil dari belakang rumah: dingklik, cetok, linggis, dan sapu lidi. Hari ini aku harus bersihkan taman di depan rumah. Bukan taman di dalam pagar ya, tapi taman kecil di luar pagar rumah yg berada di pinggir jalan. Di perumahanku kan ga ada trotoar, dan tanah di luar pagar itu dimiliki oleh yg punya rumah untuk ditanami. Nah, taman kecil itu udah lama tidak aku bersihkan, mungkin sekitar 4 bulan terlantar. Yg namanya rumput dan tanaman liar ... tumbuh subur di sana, sampe setinggi pinggang. Rimbun banget, kayak rimba di Papua. Taman di depan rumah tetangga rapi semua, cuma punyaku yg tak terawat, malu kan. Makanya tadi aku singsingkan lengan baju utk bersihkan taman itu. Rumput yang panjang harus diambil dulu, lalu tanahnya dilinggis biar agak gembur. Baru lah tanah itu dibolak-balik pake cetok biar bisa ku ambil akar dan umbi rumput. Baru membersihkan rumput di tanah sekitar 1x1 meter ... aduh, kok capek banget ya. Memang kemarin tidur larut malam dan tadi bangun pagi, jadi mungkin tidurnya kurang dan capeknya cepet datang lagi. Aku hentikan aja kegiatan 'merumput', sisanya yg 1 x 9 meter itu lain kali aja. Betul-betul ga kuat deh. Aku masuk ke rumah, cuci tangan dan kaki, terus tidur. Zzzzzz. Bangun bentar, minum, cek email, terus tidur lagi. Zzzzzzz. Bangun jam 2 siang, aduh ... lapar. Waktunya beli makan siang. Aku ganti baju terus keluar dari rumah. Lho?! Tamanku yg belum selese kubersihkan tadi kok jadi bersih ... sih ... sih dari rumput dan tanaman liar. Tanah yg sempit memanjang itu tampak sangat rapi. Tanaman hias yg sebelumnya tidak nampak krn tertutup rumput dan tanaman liar, kini memamerkan diri. Tadi yg kubersihkan cuman 1 meter, siapa gerangan yg membersihkan 9 meter sisanya waktu aku tidur tadi? Kok baik hati banget. Aku sampe terheran-heran. Siapa ya? Siapa? Masa ada tetangga yg diam-diam bersihkan tamanku? Kayaknya ga mungkin, wong aku cuek ama tetangga. Lagian mereka tipe orang elit yg ga mau mengotori tangannya dg tanah kebun. Tapi kalo bukan tetangga, terus siapa? Masa ada orang lewat yg iseng bersihkan tamanku? Lebih ga mungkin lagi.
Dua hari terakhir ini penuh keanehan dan keajaiban.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.