Garden of words -- sekumpulan kata-kata yang berwarna-warni tumbuh di kebun cyber milikku.

Wednesday, January 9, 2013

Eyes

"Mbak, saya minta rujukan untuk periksa mata," kataku ke asistennya dokter umum.
"Keluhannya apa?"
"Pandangan kabur kalo buat baca, mungkin saya perlu kacamata."

Segera dia buatkan surat rujukan, yang aku bawa setelah ditandatangani oleh dokternya. Sebetulnya aku agak sedih ketika menerima surat rujukan itu. Aku merasa, aduh kok aku udah tua ya. Rambut udah beruban di sana sini, selulit juga ada di sana-sini, mo nurunkan berat badan 1 kilo aja udah susah banget, siku sebelah kanan udah ga bisa dipake angkat yg berat-berat krn arthritis, dikit-dikit batuk, etc. Dan sekarang mo baca aja tulisan jadi kabur? Maxudnya bukan tulisannya yg kabur pergi, tapi nampak agak dobel gitu. Berarti harus dibantu kacamata ya, kalo pas baca.

Tadi pagi aku pergi ke RSU dengan membawa surat rujukan, terus antre di poli mata setelah mendaftar. Tidak lama kemudian aku dipanggil dan diminta masuk ke ruang periksa. Ada 3 dokter mata di situ, mungkin spesialisasinya lain-lain ya. Seorang dokter pria mengambil map berkasku dan memintaku utk duduk dan meletakkan dagu di sebuah alat. Di dalamnya aku melihat foto pemandangan, terus pak dokter kayaknya memotret mataku, karena aku dengar bunyi klik. Setelah itu aku diminta baca huruf dg mata kiri tertutup, lalu baca angka dengan mata kanan tertutup. Ga ada masalah, huruf dan angka yg paling buesar sampe yg paling kuecil bisa kubaca dg baik. Lalu pak dokter berikan sebuah teks dg ukuran font yg agak kecil, kayaknya itu Times New Roman 10pt. Aku diminta baca teks itu sambil pake kacamata yg dia beri. Lensanya bolak-balik dia ganti, mungkin ada lensa plus, minus dan nol.

"Pake lensa ini jelas ndak tulisannya?" tanya dia.
"Kabur sekali, ngga keliatan," jawabku.
Lensa diganti.
"Kalo pake lensa ini bagaimana?"
"Ya, tulisannya jelas."
Lensa diganti lagi.
"Kalo pake ini?"
"Agak kabur."
"Coba kacamatanya dilepas. Enak mana baca pake kacamata dan tanpa kacamata?"
Kacamata ku lepas.
"Enak ga pake kacamata. Lebih jelas."

Pak dokter keliatan bingung. Dia menghampiri rekannya di meja pojok ruang, bisik-bisik bentar, lalu keduanya menghampiriku. Rekannya, dokter mata wanita, memasang kacamata ke wajahku.

"Ibu coba baca ini, kabur ndak?" tanya bu dokter.
"Iya, kabur."
"Kaburnya bagaimana?"
"Tulisannya keliatan agak dobel."
"Coba tulisan agak ibu jauhkan. Jaraknya seberapa sampe bisa terlihat jelas?"
Aku mundurkan teksnya sehingga tidak kabur lagi.
"Nah, segini jadi ga kabur," kataku, lalu kumajukan teksnya sedikiiit, "Kalo jaraknya segini jadi kabur."
"O gitu. Memang jarak membaca yg bagus harusnya 30 cm."

Bwahahaha...aku jadi ketawa. Mana ku tau kalo jarak minimum 30 cm? Jadi critanya mungkin gini. Dokternya tadi bingung krn pandanganku kabur kalo dikasih kacamata plus atau minus, tapi malah jelas kalo dikasih kacamata nol. Trus kenapa aku mengeluh pandangan kabur, ya udah ketemu itu tadi, yaitu jarak antara mata dan tulisan terlalu dekat! Kalo jaraknya 30 cm dan tulisan masih terlihat jelas, berarti penglihatanku masih normal. Gitu loh.

Untuk memastikan mataku sehat, dokternya bilang dia mo liat syaraf mataku. Dengan sebuah alat kecil bersenter, dia mengintip kedua mataku dari jarak dekat, sehingga wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Wah, untung dokternya wanita. Kalo dokternya pria, aku bisa njegrik!

"Syarafnya bagus, bu," kata bu dokter.

Horeeee...alhamdulillah mata dan penglihatanku ternyata masih baik, dan ga perlu kacamata. Berarti aku ga jadi merasa tua dong. Kesimpulannya apa, dari kasus ini? Kalo anda membaca dan pandangan kabur, masalahnya mungkin tidak terletak di mata anda, tapi justru TANGAN anda. Tangannya agak jauh yaaaaaa kalo pegang tulisan...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.