Garden of words -- sekumpulan kata-kata yang berwarna-warni tumbuh di kebun cyber milikku.

Wednesday, April 28, 2010

Afterlife (2)


Di bagian pertama aku bahas tentang ketidakpercayaan terhadap afterlife, yg dipicu oleh pernyataan Jerry Adler tentang kematian anaknya, Max. Bagian kedua ini aku membahas ketidakpercayaan terhadap adanya signs from another world. Adler tidak percaya bahwa kupu cantik yg dilihatnya adalah pertanda dari anaknya, Max, yg udah meninggal. Dia bilang:

I would hate to think of Max, with his fierce intelligence and tenacity, reduced to sending mute signals by way of insects.

Ini menarik sekali. Rasanya aku seperti melihat diriku sendiri bertaun-taun yg lalu. Duluuu sekali aku tidak percaya akan adanya signs atau pertanda. Aku masih muda, aku merasa bahwa aku akan hidup selamanya, dan segala sesuatu di dunia ini harus disikapi memakai rasio. Seeing is believing. Not seeing? Not believing, then! Oh, alangkah naïf aku dulu.

Kalo baca berita mengenai kecelakaan yg menelan korban jiwa, aku seringkali jengkel karena wartawannya menulis hasil wawancara dg keluarga korban yg biasanya berbunyi: “sehari sebelum peristiwa naas ini terjadi, keluarga korban mendapat firasat berupa … dst.” Aku pikir, wartawan kurang kerjaan, dua hal yg jelas-jelas ga berhubungan kok dihubung-hubungkan. Begitu pula kalo ada teman-teman yg cerita ttg firasat, aku pasti mbatin, apa se hubungan antara kejadian A sama firasat B, wong ga ada gitu lho.

Semua itu berubah pada awal tahun 2004. Sebelum nenek meninggal pada waktu itu, aku mendapat firasat berupa dua mimpi. Bahkan pada saat beliau meninggal jam 9 pagi di Lumajang, aku seperti mau pingsan pada jam 1 siang di Melbourne. Pusing seolah-olah sekeliling berputar, pandangan berkunang-berkunang, badan tidak enak dan serasa mau ambruk, dll. Gejala ini datang tiba-tiba, dan sekitar 10 menit kemudian menghilang juga tiba-tiba. Perlu diketahui, jam 9 pagi WIB sama dengan pukul 1 siang di Melbourne! Setelah peristiwa ini, susul-menyusul yg namanya firasat, sebelum orang yg ku kenal meninggal, sebelum ketemu seseorang, sebelum membaca sesuatu di koran, dll. Pokoknya apa yg akan aku lihat, dengar atau alami, seringkali sudah tergambar duluan lewat mimpi.

Tidak perlu ku ceritakan satu per satu di sini, nanti malah akan membosankan, utamanya utk orang yg tidak percaya pertanda atau firasat. Sekarang, kalau ada orang yg tidak percaya kedua hal itu, aku amat sangat paham. Tidak apa-apa tidak percaya dan jadi skeptis, aku dulu juga pernah seperti itu kok. Aku juga tidak perlu berusaha keras meyakinkan yg bersangkutan utk percaya. Nanti kalo mereka mengalami seperti apa yg aku alami, kan jadi percaya atas kehendaknya sendiri. Jadi bukan hanya seeing is believing, tapi juga experiencing is believing.

Tuesday, April 27, 2010

Degrees


Menurut pentolan Dewa 19, Ahmad Dhani untuk menjadi pintar tidak perlu sekolah terlalu tinggi. Jadi menurutnya juga tidak terlalu penting juga meraih gelar sarjana. Menurut Dhani justru ilmu itu lebih banyak didapatkan di luar bangku kuliah. Mantan istri Maia Estianty itu mencontohkan popularitas dan kekayaannya yang ia raih saat adalah hasil otodidak.
"Apa yang saya capai sekarang bukan didapatkan dari bangku sekolah dan kuliah. Saya dapatkan semua itu dengan otodidak. Kalau untuk saya sih nggak terlalu penting gelar sarjana," jelas Dhani saat ditemui di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Selasa (27/4/2010) malam.
(Dari Detikhot)


Dhani berulah lagi, bikin pernyataan yg nyeleneh. Sebetulnya ucapan dia ngga akan ku tulis di sini seandainya itu tidak mengingatkan aku ke seseorang yg punya pandangan sama, sebut saja si X. Kira-kira 2 taun lalu aku dan X jadi juri speech contest di kampus, di mana salah satu pesertanya menekankan pentingnya pendidikan utk masa depan anak bangsa. Setelah speech disampaikan peserta ini, juri diperbolehkan bertanya utk menilai bgmn peserta mempertahankan argumen yg disampaikan di speech. Lha kok X bertanya dg pedenya, "Apa iya pendidikan segitu penting. Kan ada orang yg sukses hidupnya tanpa harus sekolah." Klop dah ama Dhani.

Memang utk orang yg tidak mengerti pendidikan, sekolah dan gelar tidak penting. Aku kutip lagi pandangan Dhani: "
popularitas dan kekayaannya yang ia raih adalah hasil otodidak." Buat Dhani, tujuan hidupnya adalah popularitas & kekayaan, jadi kalo dah populer dan kaya raya dia merasa hidupnya berhasil. Buat X yg dibesarkan di keluarga pedagang, tujuan hidupnya adalah kekayaan. Berprofesi sbg dosen tidak mengubah haluan hidupnya ke arah yg sama dg tujuan pendidikan, jadi kalo dia udah kaya raya dia merasa hidupnya berhasil juga.

Begini ya, kita emang harus membuat hidup kita berhasil, tapi apa se matranya spy hidup bisa dikatakan berhasil? Punya duit banyak? Bisa tenar di seantero dunia? Duh, kesian deh lo. Apa iya kita nanti bakal ditanya: berapa jumlah duit yg berhasil kamu kumpulkan di dunia, seberapa terkenal kamu di dunia, dll. Coba deh dipikirkan, sambil baca-baca ttg pendidikan.

Afterlife (1)


On a spring day last year, three months after the death of my younger son, Max, I opened my front door and saw a butterfly resting on the steps—an Eastern tiger swallowtail, I later determined, a species native to the Northeast but not one I remembered seeing before in the middle of Brooklyn. The date stuck in my mind because, as it happens, it was also my birthday. The butterfly, with its otherworldly beauty and silence, is, of course, a common metaphor for the soul. Its emergence from entombment as a chrysalis may have inspired ideas about human resurrection. In the newsletter of the Compassionate Friends, a support group for bereaved parents, the sudden appearance of butterflies (and birds, cloud formations, and particular songs on the radio) is sometimes cited as evidence of communication from beyond the grave. So let me be clear about where I stand: not only do I not believe it, but I can't understand why anyone would take comfort from it. I would hate to think of Max, with his fierce intelligence and tenacity, reduced to sending mute signals by way of insects.

Begitulah Jerry Adler mengawali artikelnya Heaven Can Wait di majalah Newsweek. Tulisan tersebut menyatakan secara jelas bahwa dia tidak percaya akan adanya ”pertanda” berupa kupu-kupu. Bahkan di bagian tengah dan akhir artikelnya, dia juga menyiratkan bahwa dia tidak percaya akan adanya afterlife, dan lebih condong ke kaum skeptis yg percaya bahwa setelah manusia mati hanya ada annihilation.

Aku sangat tertarik pada artikel ini ketika baca Newsweek suatu malam menjelang tidur. Jangan menuduh aku morbid ya, tapi aku memang tertarik utk membaca dan membahas afterlife setelah berbagai peristiwa ganjil yg aku alami sendiri. Sebelum membahas lebih jauh artikel di atas, aku tulis lagi inti dari pendapat Adler. Dia tidak percaya bahwa (1) ada kehidupan setelah mati, dan (2) ada pertanda dari alam lain. Yg pertama kubahas di sini, yg kedua ku bahas di entry lain, OK?

Banyak orang yg mengaku beragama, bahkan mengaku dirinya religius banget, tapi kata-kata dan perbuatannya sungguh tidak cocok dengan pengakuannya. Penampilan memang dibuat sedemikian rupa sehingga mencerminkan sosok yg religius, tapi kok masih suka mengumbar kata-kata kasar yg betul-betul menyakitkan hati, suka berbuat aneh-aneh yg bikin orang lain betul-betul tidak sreg. Bahkan salah satunya ada yg menyindir dg suara senyaring halilintar bahwa aku tidak pernah sholat. Lho, emang dia tau seluk beluk hidupku? Ketemu aja cuma 2 hari seminggu, itu pun cuma sekian jam aja. Dari mana tau kalo aku tidak pernah sholat?

Aku tidak tau bagaimana kehidupan sehari-hari Adler, mungkin dia orang baik atau mungkin pula sebaliknya. Yg jelas, dia udah menyatakan secara eksplisit bahwa dia tidak percaya ada afterlife. Orang-orang yg mengaku religius di atas pasti percaya akan adanya afterlife (wong mereka menganut suatu agama), tapi tidak pernah menghayati makna afterlife itu sendiri.Aku yakin semua agama mengajarkan bahwa akan ada kehidupan lain sesudah manusia meninggal, dan kehidupan kita sesudah mati amat ditentukan oleh kehidupan kita sebelum mati. Apa pun yg kita ucapkan dan perbuat sebelum mati—baik atau pun buruk—akan ada konsekuensinya setelah kita mati. Belief in afterlife berfungsi sebagai kontrol bagi ucapan dan perilaku selama kita hidup. Dan orang-orang yg ku sebut tadi...mereka pede masih bakal masuk surga meskipun sudah mengumbar kata dan perbuatan yang...yah gitu deh... asalkan penampilan tetap dijaga biar keliatan religius. Apakah pede mereka bakal terbukti, wallahualam. Bukan wewenangku utk memastikan nasib orang di masa depan.

Untuk Adler yg tidak percaya akan adanya afterlife, menarik sekali dia memilih judul yg tepat utk artikelnya, Heaven Can Wait. Yes, Mr. Adler, heaven can wait. It may wait for you, but for how long? I hope heaven waits long enough, so that you still have the chance to realize that there is afterlife…

Friday, April 23, 2010

Touched by an Angel: 'Til We Meet Again


"You seem honest, though."
"I'm an exception. Always have been."



"Who do you think you are?"
"I'm his daughter."
"So am I."
"No, you're not."



"I guess that's the thing with family secrets.
Nobody talks but everybody knows."




"All I wanted was just to be comfortable in this family.
When I was a kid, I blew up my birthday candles every year, that was my wish.
Whenever we pray, that was my prayer."



"All prayers are answered, Kim. Sometimes the answer is 'no', sometimes the answer is 'not yet'."


Sunday, April 18, 2010

Reminiscing...

Memories
Maybe beautiful and yet
What's too painful to remember
We simply choose to forget
So it's the laughter
We will remember
Whenever we remember
The way we were

(The Way We Were, Barbara Streisand)


Kemarin aku melihat-lihat lagi foto lama yang diambil waktu aku masih studi lanjut, dan ada sekelompok foto yang membuatku tersenyum lebar. Itu fotoku bersama teman-teman sekantor (mahasiswa S2 dan S3) di Monash Uni, tepatnya ruang 134 di Faculty of Education.


Di salah satu foto, tampak Raqib (satu-satunya cowok di ruang itu) duduk di kursi sambil mendongakkan kepala dengan cueknya, sedangkan Renee berlutut di depannya sambil mempersembahkan setangkai bunga matahari kepada Raqib. Aku bersama Nok dan Sara menonton mereka sambil terbengong-bengong, seolah-olah itu suatu kejadian yg shocking untuk kami bertiga. Oh lucunya....indahnya kebersamaan kami.


Aku masih ingat, foto itu dijepret siang hari, setelah kami berkeliling melihat stand-stand yg didirikan di tengah kampus utk memeriahkan orientation days. Ya, pekan orientasi di Monash Uni jauh lebih beradab drpd uni di Indonesia. Ngga ada kakak kelas yg ngerjain atau menghukum mahasiswa baru dg cara apa pun. Yg ada, semua mahasiswa--baik baru maupun lama--bergembira di berbagai stand yg menyediakan barang dan makanan gratis.

Waktu itu kami semua kembali ke kantor abis jalan-jalan di tengah kampus. Badan capek semua krn kebanyakan jalan, dan perut jadi gendut semua krn kebanyakan makan hot dog atau burger gratis. Entah siapa yg mulai, kami mulai mereka-reka enaknya berfoto di kantor dg pose bagaimana. Seingatku, Renee usul spy dia berpose utk melamar Raqib pake bunga. Supaya teman-teman lain bisa ikutan di foto, maka berpose sebagai penonton yg terkaget-kaget ngeliat ulah Renee dan Raqib. Wajah kami semua--menurutku--sama lucunya. Raqib yg cuek, Renee yg memohon, Nok yg nggosip, Sara dan aku yg bengong. Oh my God, betul-betul indah untuk dikenang sekarang. Seandainya aku bisa kembali ke masa lalu, mungkin aku memilih utk kembali ke hari ketika foto itu diambil. Hari itu penuh gelak tawa, dan kami semua betul-betul bahagia.

Bukan berarti hubungan pertemanan di ruang 134 selalu baik-baik saja. Yg namanya bengkerengan pasti ada, wong kami berasal dari negara yg berbeda dengan budaya yg berlainan pula. Salah paham sering terjadi krn hal ini, apalagi aku orangnya sensitif mudah tersinggung. Tiap kali ada tingkah laku teman-teman yg aku ngga sreg, aku pasti tersinggung dan diam sambil mbedodog. Kalo mbedodognya udah numpuk, aku menjauh dr mereka, dan tidak ngantor di sana berhari-hari. Malah pernah aku sensitif banget pas deadline disertasi semakin mendekat, lha kok salah seorang teman di ruang 134 nuduh aku macem-macem. Masih mending kalo dia omong langsung ke aku, ini ngga, dia malahan talk behind my back dan menyebar berbagai fitnah. Biyuh, langsung aku mbedodog tingkat tinggi. Tanpa sepengetahuan mereka, aku minta kantor tersendiri jauh dr ruang 134. Aku berhasil dapat kantor kecil untuk aku sendirian. Teman-teman baru tau aku pindah kantor pas aku angkut barang dari ruang 134 ke kantor baru.

Hubungan kami masih baik setelah aku pindah kantor, tapi tentu tidak sedekat dulu. Kami masih ngobrol kalo berpapasan di fakultas ato di jalan, tapi hanya sebatas basa-basi aja. Setelah aku lulus dr Monash Uni dan kembali ke Indonesia, aku juga pernah email mereka semua. Email itu dibalas sekali, setelah itu tidak dibalas lagi. Tidak apa, mungkin mereka udah sibuk dg pekerjaan masing-masing setelah jadi doktor, ya aku aja yg kurang kerjaan hehehe.

Sekarang aku hanya bisa mengenang masa-masa indah di ruang 134. Seperti lagu di atas, yg terlalu painful dilupakan, yg diingat hanya yg indah-indah aja. Kalo dikilas balik, mungkin ada kejadian yg painful karena mereka tidak sengaja membuat aku jengkel, atau mungkin juga karena aku yg terlalu mudah tersinggung. Itu semua tidak penting sekarang krn udah berlalu, yg lebih penting adalah aku akan selalu mengingat mereka sebagai teman-teman yg sangat baik.