Tuesday, April 27, 2010
Afterlife (1)
On a spring day last year, three months after the death of my younger son, Max, I opened my front door and saw a butterfly resting on the steps—an Eastern tiger swallowtail, I later determined, a species native to the Northeast but not one I remembered seeing before in the middle of Brooklyn. The date stuck in my mind because, as it happens, it was also my birthday. The butterfly, with its otherworldly beauty and silence, is, of course, a common metaphor for the soul. Its emergence from entombment as a chrysalis may have inspired ideas about human resurrection. In the newsletter of the Compassionate Friends, a support group for bereaved parents, the sudden appearance of butterflies (and birds, cloud formations, and particular songs on the radio) is sometimes cited as evidence of communication from beyond the grave. So let me be clear about where I stand: not only do I not believe it, but I can't understand why anyone would take comfort from it. I would hate to think of Max, with his fierce intelligence and tenacity, reduced to sending mute signals by way of insects.
Begitulah Jerry Adler mengawali artikelnya Heaven Can Wait di majalah Newsweek. Tulisan tersebut menyatakan secara jelas bahwa dia tidak percaya akan adanya ”pertanda” berupa kupu-kupu. Bahkan di bagian tengah dan akhir artikelnya, dia juga menyiratkan bahwa dia tidak percaya akan adanya afterlife, dan lebih condong ke kaum skeptis yg percaya bahwa setelah manusia mati hanya ada annihilation.
Aku sangat tertarik pada artikel ini ketika baca Newsweek suatu malam menjelang tidur. Jangan menuduh aku morbid ya, tapi aku memang tertarik utk membaca dan membahas afterlife setelah berbagai peristiwa ganjil yg aku alami sendiri. Sebelum membahas lebih jauh artikel di atas, aku tulis lagi inti dari pendapat Adler. Dia tidak percaya bahwa (1) ada kehidupan setelah mati, dan (2) ada pertanda dari alam lain. Yg pertama kubahas di sini, yg kedua ku bahas di entry lain, OK?
Banyak orang yg mengaku beragama, bahkan mengaku dirinya religius banget, tapi kata-kata dan perbuatannya sungguh tidak cocok dengan pengakuannya. Penampilan memang dibuat sedemikian rupa sehingga mencerminkan sosok yg religius, tapi kok masih suka mengumbar kata-kata kasar yg betul-betul menyakitkan hati, suka berbuat aneh-aneh yg bikin orang lain betul-betul tidak sreg. Bahkan salah satunya ada yg menyindir dg suara senyaring halilintar bahwa aku tidak pernah sholat. Lho, emang dia tau seluk beluk hidupku? Ketemu aja cuma 2 hari seminggu, itu pun cuma sekian jam aja. Dari mana tau kalo aku tidak pernah sholat?
Aku tidak tau bagaimana kehidupan sehari-hari Adler, mungkin dia orang baik atau mungkin pula sebaliknya. Yg jelas, dia udah menyatakan secara eksplisit bahwa dia tidak percaya ada afterlife. Orang-orang yg mengaku religius di atas pasti percaya akan adanya afterlife (wong mereka menganut suatu agama), tapi tidak pernah menghayati makna afterlife itu sendiri.Aku yakin semua agama mengajarkan bahwa akan ada kehidupan lain sesudah manusia meninggal, dan kehidupan kita sesudah mati amat ditentukan oleh kehidupan kita sebelum mati. Apa pun yg kita ucapkan dan perbuat sebelum mati—baik atau pun buruk—akan ada konsekuensinya setelah kita mati. Belief in afterlife berfungsi sebagai kontrol bagi ucapan dan perilaku selama kita hidup. Dan orang-orang yg ku sebut tadi...mereka pede masih bakal masuk surga meskipun sudah mengumbar kata dan perbuatan yang...yah gitu deh... asalkan penampilan tetap dijaga biar keliatan religius. Apakah pede mereka bakal terbukti, wallahualam. Bukan wewenangku utk memastikan nasib orang di masa depan.
Untuk Adler yg tidak percaya akan adanya afterlife, menarik sekali dia memilih judul yg tepat utk artikelnya, Heaven Can Wait. Yes, Mr. Adler, heaven can wait. It may wait for you, but for how long? I hope heaven waits long enough, so that you still have the chance to realize that there is afterlife…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.