***
Awal tahun dua ribu sepuluh, aku menerima surat himbauan dari Dekan dan PR II agar segera mengurus kenaikan pangkat mengingat sudah sekian tahun aku belum juga mengajukan. Maka segera aku kumpulkan semua dokumen yang diperlukan: SK, surat tugas, jurnal, makalah, dll. Semua aku serahkan ke staf yg memang bertugas untuk mengurusinya. Bulan Maret dua ribu sepuluh, atasanku menandatangani surat permohonan untuk pengurusan pangkat akademik, maka dimulailah perjalanan berkas itu.
Ternyata itu perjalanan yang sangat panjang dan berliku. Sangat, sangat sulit untuk menaikkan berkas itu ke atas. Selalu ada saja hambatan yg diciptakan untuk memperlambat proses kenaikan pangkatku. Atasan sampai harus turun tangan untuk mempercepat prosesnya. Ya ... ini kan di Indonesia. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah? Untuk mempermudah semuanya, harus ada 'pemudah'-nya in Gayus' style. Singkat cerita, pemudah yg diberikan karena kebaikan hati atasanku ini bisa membuat proses kenaikan pangkat berjalan lagi, sehingga berkas akhirnya sampai juga di Jakarta di bulan Januari tahun ini. Selesai? Belum. Ternyata ada peraturan baru, yaitu semua karya ilmiah utk kenaikan pangkat harus melalui peer review atau direview oleh teman sejawat. Maka Dikti mengirim surat yang isinya meminta supaya karya ilmiahku direview dulu oleh 2 teman sejawat, setelah itu hasilnya dikirim ke Dikti lagi sebelum berkasku bisa diproses. Sayangnya, peer review berjalan sangat tidak lancar. Kembali lagi ke prinsip di atas: kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah? Bau Gayus mulai tercium dari kejauhan. Apakah aku harus mengulangi lagi tindakan kriminal itu seperti dahulu?
***
Sore itu adikku dan keluarganya menyambutku di depan rumah mereka. Aku sengaja mampir ke sana untuk minta tolong keponakanku yg technology-savvy supaya bisa mengoperasikan SIM card di hape dual SIM punyaku. Setelah ngobrol dan SIM card beres, aku bilang ke mereka, "Bude mau ke Jakarta, ke Dikti untuk mengambil kembali berkas kepangkatan. Sudah minta surat pengantar dari institusi, Selasa suratnya mau tak ambil dan Kamis berangkat ke Jakarta." Adikku dan suaminya tentu menyayangkan langkah yg aku ambil karena mereka berdua juga dosen dan sama-sama giat dalam mengurus kepangkatan. Tapi keputusanku sudah bulat: membatalkan usulan kenaikan pangkat. Mereka membujukku untuk meneruskan saja proses kenaikan pangkat, toh hanya kurang peer review, tapi aku tetap pada keputusanku. Mereka bilang, nanti aku rugi sendiri kalau tidak naik pangkat, antara lain kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tunjangan fungsional yang jumlahnya lumayan banyak. Tanpa ragu aku jawab, "Kalau pun aku dapat tunjangan banyak, uang itu tidak akan aku bawa kalau aku mati. Di akhirat pun, aku tidak akan ditanya, pangkat terakhir apa." Mereka juga mengingatkan bahwa institusi tempatku bekerja ikutan rugi karena semakin tinggi kepangkatan dosen, semakin bagus hasil akreditasi institusi. "Kalau aku disalahkan karena tidak mau naik pangkat, maka aku minta orang-orang yang telah menghambat langkahku dalam proses kenaikan pangkat untuk berkaca. Silakan mereka introspeksi," jawabku mantap.
Aku jelaskan ke mereka bahwa proses apa pun di institusi mana pun akan mengikuti sistem yang berlaku di sana. Begitu kita memasuki proses itu, pilihannya ada dua: ikut sistem atau--kalau tidak bisa ikuti sistem--mundur. Aku memilih untuk mundur. Orang lain mungkin lebih memilih untuk ikut sistem karena berbagai alasan, tapi kalau menurutku--sekali lagi: menurutku--sistem itu begitu bobrok maka aku boleh kan untuk mundur dari sana? Kedua pilihan itu, ikut sistem atau mundur, ada konsekuensinya masing-masing. Tinggal kita mau menanggung konsekuensi yang mana.
***
Aku terus berdoa untuk memantapkan keputusanku. Kalau memang aku ditakdirkan untuk tidak naik pangkat, semoga semua urusanku untuk menarik kembali berkasku dipermudah. Ternyata memang urusanku dipermudah.
Hari Selasa aku mendapatkan surat pengantar dari bagian kepegawaian kantor pusat dengan proses yg tidak bertele-tele. Surat itu sudah disiapkan dan aku tinggal mengambilnya. Memang bagian kepegawaian selama ini selalu helpful setiap kali aku mengurus apa pun di sana. Petugasnya juga ramah-ramah. Tidak sampai 10 menit, aku sudah bisa meninggalkan kantor kepegawaian dengan surat pengantar di tangan.
Hari Kamis pagi-pagi sekali aku berangkat naik pesawat menuju Jakarta, dan tiba di lantai 5 gedung Dikti sekitar pukul 11am. Aku serahkan surat pengantar ke resepsionis bagian Diktendik untuk kemudian dia sampaikan ke pak X yg bertugas menangangi kenaikan pangkat dosen seluruh Indonesia. Resepsionis bilang, aku harus tanya pak X kapan berkas itu diambil. "Berkasnya di gudang, bu. Harus dicari dulu oleh pak X, nanti kalau ketemu baru bisa diambil," katanya. Aku tanya apa berkasnya bisa diambil hari itu juga untuk ku bawa pulang, dan jawaban dia membuat hatiku ciut: "Wah, berkasnya banyak sekali, numpuk di gudang. Mencarinya mungkin tidak bisa selesai satu hari. Kalau ketemu, biasanya berkas itu dikirim ke lembaga asal lewat pos." Aduh ... jangan ... jangan ... berkasku jangan dikembalikan ke institusi, nanti aku diping-pong lagi. Dengan senyum agak gugup aku tanya lagi, "Mas, kalau berkasnya ketemu, apa boleh saya ambil sendiri saja minggu depan? Saya bisa ke sini lagi kok minggu depan." Dia heran melihat aku tiba-tiba gugup, lalu bilang bahwa berkasnya mungkin bisa ketemu hari ini, tergantung pak X, sambil menambahkan, "Sekarang pak X tidak ada, lagi keluar. Nanti kalau sudah datang, ditanyakan saja." Aduh, rasanya tidak mungkin urusan ini selesai hari ini. Waktu itu sudah sekitar jam 11.30am, dan jam 2pm aku harus sudah naik bis menuju bandara untuk mengejar pesawat yg berangkat jam 4pm lebih. Berarti aku hanya punya waktu sekitar dua setengah jam untuk dapatkan berkasku kembali. Apa mungkin itu terjadi, pak X saja belum kembali ke kantor, apalagi mencari berkas yang butuh waktu tidak sebentar. Setengah putus asa dan dengan senyum terpaksa, aku pesan ke resepsionis akan kembali jam 1pm untuk melihat apakah berkas sudah ketemu, sambil mewanti-wanti supaya berkas itu tidak dikirim lewat pos dan harus aku ambil sendiri.
Jam 1pm. Harap-harap cemas. Aku mendatangi resepsionis. Ternyata pak X sudah datang dan dia pertemukan aku dengan pak X. Terjadi percakapan singkat antara aku dan pak X.
"Ibu dari U....?"
"Iya, pak."
"Ini gimana, berkasnya mau diambil kembali?"
"Iya, pak."
"Lha ibu siapa?"
"Saya dosen pengusulnya."
"Sebentar ya."
Pak X berjalan menuju ruangnya dan menghilang di balik pintu. Sekitar 10 menit kemudian, dia muncul kembali dengan membawa setumpuk dokumen. Berkas kepangkatanku! Dia menyerahkan berkas itu dan memintaku untuk menandatangani tanda terima. That's all.
Aku melangkah keluar dari gedung Dikti. Tidak ada rasa sedih. Tidak ada rasa kecewa. Yang ada hanya perasaan lega. Perjuangan itu usai sudah. Selama dua tahun aku telah berupaya untuk mengurus kenaikan pangkat akademik, selama dua tahun itu pula berbagai hal telah terjadi. Kini semuanya berakhir dengan berkas yang berada di tanganku, yang baru saja aku ambil dari staf Dikti. Bukan SK kenaikan pangkat yang aku dapat di ujung perjuanganku, melainkan dokumen-dokumen yang dikembalikan atas permintaanku sendiri, menandakan berhentinya proses kenaikan pangkatku.
Ternyata doaku terkabul, semua urusanku dalam menarik kembali berkas itu sangat dipermudah. Takdir berkata aku tidak bisa meneruskan proses kenaikan pangkat. Harapan boleh menggantung setinggi langit. Upaya juga sudah semaksimal mungkin. Waktu dua tahun tidaklah sebentar. Kalau takdir menentukan lain, aku harus menerima dengan lapang dada. Bagi orang lain, mungkin kegagalan seperti ini bagaikan menelan pil pahit. Tapi bagiku, ini seperti menelan pil pahit yang bersalut gula. Ada beberapa pil yang diberi lapisan gula tipis di bagian luarnya, supaya orang yang meminum pil itu hanya merasakan manisnya gula meskipun sebetulnya isinya sangat pahit. Begitu juga kasus ini, meskipun sebetulnya sangat pahit bagiku, yang aku rasakan adalah manisnya. Rasa manis itu bernama hikmah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.