Buruk rupa cermin dibelah. Itu ungkapan yang sering digunakan untuk
menggambarkan orang yang cenderung menyalahkan orang lain walaupun
sebetulnya dirinya sendiri yang salah.
Orang yang
bercermin dan melihat betapa buruk wajahnya terkadang tidak mau menerima
kenyataan. Meskipun sudah jelas wajahnya amat buruk terpantul di
cermin, dia menolak kenyataan bahwa wajahnya buruk. Dia merasa dirinya
orang yang berwajah sebaliknya, tampan atau cantik. Kalau akhirnya
pantulan di cermin tergambar wajah buruk, maka yang salah adalah
CERMINnya! Karena itu cermin itu harus dipecah.
Apakah
cermin bisa berbohong? Dapatkah wajah yang cantik atau tampan diubah
menjadi sebaliknya oleh cermin? Kalau itu cermin ajaib ala dongeng Snow
White, mungkin jawabnya ya. Menurut dongeng itu, cermin bahkan bisa
berkata-kata. Tetapi kita tidak hidup dalam dongeng. Kita hidup di alam
nyata, dimana cermin memantulkan setiap detil wajah orang yang berdiri
di depannya secara objektif, apa adanya, tanpa ada perubahan sedikit
pun. Sayangnya, justru orang tersebut yang menolak gambar objektif yang
dia tatap di cermin.
Alangkah malang nasib cermin,
sudah berbaik hati memberikan pantulan yang persis aslinya, malah
dipecah dan disalahkan. Tapi lebih malang lagi nasib orang yang memecah
cermin, karena sampai kapan pun tidak akan menyadari kekurangannya dan
tetap menyalahkan cermin. Sudah menyalahkan cermin, masih memecahnya
pula.
Itu baru soal fisik, belum lagi orang yang buruk
perangainya. Buruk rupa, cermin dibelah. Buruk perangai, orang lain yang
salah. Ini sama saja, bahkan lebih parah. Orang yang baik akan
introspeksi dan memperbaiki diri apabila melakukan kesalahan. Tetapi
orang yg jahat akan ribut menunjuk hidung orang lain apabila melakukan
kesalahan. Kalau orang yang buruk sifatnya ini diminta introspeksi, ada
dua kemungkinan: pertama, tidak mau, atau kedua, mau tapi mengabaikan
hasilnya. Namanya juga orang yg bersifat buruk, kalau disuruh
introspeksi pasti yang buruk-buruk akan kelihatan jelas. Dia tidak mau
menghadapi kenyataan pahit ini, karena itu lebih baik tidak introspeksi.
Kalau pun dia mau introspeksi dan melihat begitu banyak sisi buruk
dalam dirinya, dia tetap saja mengingkari kenyataan bahwa dirinya orang
yang buruk. Hati kecilnya berteriak-teriak memperingatkan dirinya bahwa
ada keburukan yang harus diperbaiki, tapi teriakan jujur si hati kecil
tak digubris. Untuk menutupi keburukan dirinya, dicarilah orang lain.
Orang lain ini akhirnya bernasib sama dengan cermin di awal tulisan ini,
yaitu dijadikan perisai untuk menutupi keburukan orang yang buruk.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.