Friday, May 14, 2010
Outdo
Seingatku, temen yg tidak mau kalah ini mulai menampakkan tanda-tandanya pada waktu kami masih SD. Aku dibelikan boneka yg bisa bergerak dan mengeluarkan musik oleh ortu, dan boneka seperti itu pada dekade 70-an sudah termasuk amat sangat mewah. Temen ini tidak mau kalah, dia juga minta dibelikan boneka seperti itu ke ortunya, alhasil dia punya boneka yg mirip punyaku. Ketika ekonomi keluargaku mulai membaik, ortu bisa beli mobil colt L300. Eh, dia minta ortunya beli mobil yg sama persis, cuma beda warna aja.
Bukan hanya soal barang, pendidikan pun dia juga mau menyamakan dg aku. Aku kuliah S1 di jurusan Bahasa Inggris di Malang. Lho, setaun kemudian dia pindah ke jurusanku dr sebuah uni kecil di luar kota. Istilahnya transfer dr satu uni ke uni lain. Abis S1, aku langsung S2 di Malang. Lhooo, setaun kemudian dia juga S2 di jurusan yg sama dg aku dan di uni yg sama pula.
Berhenti sampe di situ? Belum! Aku kerja di sebuah uni swasta di Surabaya pada akhir dekade 90-an. Dia sempat menghina tempat kerjaku se, katanya aku kerja di universitas tepi sungai. Lhooooo, setaun kemudian kok dia malah minta supaya aku membantu dia utk melamar pekerjaan di sana. Dia ingin kerja di sana juga dan memintaku utk mempermudah proses lamaran kerja. Kalau sebelumnya dia tidak mau kalah dan selalu bisa meniru apa pun langkah yg aku ambil, kali ini takdir berkata lain. Dia tidak diterima utk bekerja di uni tepi sungai itu.
Begitu pula upaya untuk studi lanjut ke luar negeri, dia bilang terus terang ingin seperti aku, bisa belajar di negri kangguru, tapi keadaan tidak memungkinkan. Yah, pada akhirnya dia memang bisa ke negri kangguru, tapi hanya utk konferensi sebentar aja. Studi lanjut S3 tidak dapat dia lakukan karena udah berkeluarga dan tidak dapet ijin suami. Aku tidak tau apa dia ingin bekerja di universitas negri seperti aku sekarang. Hehehe kalo jawabnya iya, cape deeeh.
Aku tidak habis pikir, apa enaknya hidup dg cara berlomba dengan orang lain: menjadikan orang lain sebagai standar yg harus disamai dan kalo bisa diungguli. Hari-hari hanya dihabiskan utk memikirkan cara mengalahkan orang lain, hidupnya digunakan utk berkompetisi sehingga tidak ada waktu tersisa utk membuat diri sendiri lebih baik. Menurutku ini sia-sia. Setiap orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri, kita tidak perlu menyamakan nasib dengan orang lain karena nasib seseorang tidak akan pernah sama dg yg lain. Tidak cape tah, mbak, berlomba kaya gini? Siap-siap kecewa ya kalo hasil lomba tidak seperti yg diharapkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.