Returning the favor

Aku duduk di sebelah seorang wanita di mobil travel Malang-Surabaya. Dia nelpon ke temannya curhat ttg masalah yg dia hadapi. (Duh ketauan nih aku nguping, tapi gimana mau ga denger curhat dia wong suaranya kenceng banget gitu.) Intinya, dia bingung krn dia tinggal di Malang dan ada temannya yg mengundang dia utk hadir di pesta di Surabaya pas temannya mantu. Masalahnya, dia belum sembuh dr sakit, dan kuatir sakitnya tambah parah kalo dia kecapekan akibat datang ke pesta itu. Yg paling menarik perhatianku adalah curhat soal suaminya yg marah-marah. Kira-kira suaminya bilang begini, "Salahmu sendiri, kenapa dulu undang temenmu itu pas kita mantu. Dia datang jauh-jauh dr Surabaya ke Malang, bela-belain hanya utk datang ke pesta kita, malem-malem lagi. Sekarang dia mantu, ya kamu harus datang."

Aku tidak tau apakah temannya di Sby emang pamrih seperti itu, wong kenal aja ga kok. Repot juga ya kalo ada orang pamrih. Kalo kita berhutang uang ato barang, maka orang yg memberikan hutang memiliki piutang. Kita memang harus mengembalikan uang ato barang kepada si piutang. Tapi kalo menghadiri undangan? Masa iya se harus membalas dg hal yg sama?

Istilah berhutang budi emang ada, tapi ngga ada istilah berpiutang budi kan? Itu karena--menurutku lho--orang yg berbuat baik dengan ikhlas tidak akan mengharapkan balasan. Lha kalo berbuat baik ke seseorang dengan harapan orang ini akan membalasnya dg "kebaikan"...ya namanya menolong tapi tidak ikhlas. Kalo mau nolong orang ya nolong aja, jangan berharap pertolongan itu akan "dibayar kembali" dengan hal yg sama oleh orang yg kita tolong. Kan katanya pahala yg kita dapat dari menolong orang akan hilang kalo pertolongan itu kita ungkit-ungkit, pertanda tidak ikhlas.

Aku sering ketemu orang yg aku mintai tolong, terus mereka mengiyakan sambil mengingatkan kalo mereka butuh pertolongan aku juga harus mau bantu. Hehehe ngga papa se, aku juga ngga keberatan menolong orang lain, tapi masa mereka harus bikin conditional sentence gitu...